JAKARTA,
KOMPAS.com — Direktur
Eksekutif Wahid Institute Yenny Wahid menilai anjuran Wali Kota Lhokseumawe
Suaidi Yahya yang melarang kaum hawa mengangkang di atas sepeda motor saat
membonceng tidak tepat secara historis dan sosiologis.
Menurut dia,
anjuran Suadi tersebut tidak memberikan peran bagi kaum hawa untuk
berpartisipasi dalam ruang publik. Padahal, menurut Yenny, kondisi sosiologis
masyarakat Aceh sangat mengagungkan peran perempuan yang sejajar dengan lelaki.
"Kalau
kita mengambil contoh rujukan historis, pada zaman dulu katakanlah Cut Nyak
Dien itu kan tidak mungkin naik kuda saat mimpin perang nyengklak
(duduk menyamping). Itu kan tidak mungkin. Nah, dari rujukan sosiologis saja,
sudah tidak tepat untuk melarang ngangkang duduk di sepeda motor,"
kata Yenny di Gedung MK, Jakarta, Selasa (8/1/2012).
Yenny
mengatakan, anjuran Suadi yang diwujudkan dalam surat edaran yang melarang
perempuan mengangkang saat di sepeda motor sangat tidak perlu. Selain itu,
Yenny menilai hal itu akan menimbulkan keresahan masyarakat. Sebab, surat
edaran tersebut berlaku seperti undang-undang yang menganut hukum positif
sehingga yang melanggar surat edaran tersebut pasti akan dikenai sanksi oleh
pemerintah daerah Lhoksumawe.
Padahal,
lanjutnya, pemberlakuan syariat Islam sebagai dalih dari pelarangan kaum
perempuan duduk mengangkang secara prinsip dasar tidak sesuai. Sebab, prinsip
dasar syariat Islam menurutnya adalah membawa kemaslahatan dan kesejahteraan
bagi masyarakat.
"Itu
prinsip dasarnya, jadi bukan malah membawa keresahan. Nah ini dengan adanya
perda, duduk menyamping itu kan riskan jatuh, itu membuat masalah namanya
karena justru keselamatannya terabaikan hanya karena soal sopan satun. Sopan
santun itu bagus kalau mau dipupuk di masyarakat," ungkapnya.
Ia
menambahkan, persoalan sopan santun tidak perlu diatur dalam hukum positif.
Menurutnya, kalau pemerintah khawatir dengan keselamatan perempuan di ruang
publik, maka hal itu harus dilakukan melalui kebijakan solutif. Hal itu,
lanjutnya, dapat diwujudkan dengan menyediakan transportasi publik ramah
perempuan, misalnya angkot khusus perempuan. Hal itu, terangnya, lebih menjamin
keselamatan perempuan.
"Kan
lebih baik berpikir solutif, tapi tidak berpikir harus membebani perempuan.
Kalau ini modelnya membebani perempuan," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya,
Wali Kota Lhokseumawe Suadi Yahya mengeluarkan surat edaran yang mengimbau kaum
perempuan tidak duduk mengangkang saat diboncengi dengan sepeda motor.
Alasannya untuk peningkatan dan mendukung syariat Islam yang telah ada qanun-nya
di Aceh. Menurutnya, kaum perempuan yang duduk mengangkang saat dibonceng
sepeda motor tidak sesuai dengan budaya Aceh yang Islami.
Surat edaran
berupa imbauan kepada warga Lhokseumawe mulai berlaku sejak Selasa (1/1/2013)
lalu. Sosialisasi pun dilakukan ke kecamatan hingga ke desa-desa.